Pariwisata Halal Tidak Didukung Regulasi yang Kuat

Pariwisata halal sangat potensial, sehingga perlu dikembangkan dan dipromosikan secara maksimal, agar bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat. Tapi sayang, keberadaannya tidak didukung oleh regulasi yang kuat berupa Undang-undang atau Peraturan Menteri yang memiliki kekuatan hukum mengikat.

Demikian menurut Dr Cucu Susilawati saat mempertahankan Disetasinya “Regulasi dan Penerapan Pariwisata Halal di Indonesia” dalam sidang terbuka yang digelar Program Pascasarjana UIN SGD Bandung, belum lama ini. Dr Cucu meraih nilai Indeks Prestasi Kumulatif 3.80 (cumlaude).

Pariwisata Halal dapat eksis karena ada Fatwa DSN MUI No 108/DSN-MUI/X/2016 tentang Penyelenggaraan Pariwisata Berdasarkan Prinsip Syariah. Menurut Dr Cucu, Fatwa DSN MUI menjadi peraturan positif, dilegislasikan menjadi sebuah Undang– undang atau sekurang–kurangnya menjadi sebuah Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang secara khusus mengatur tentang pariwisata halal.

Alasannya, Dr Cucu tidak menemukan satu pasal pun yang mengatur tentang pariwisata halal di dalam UU No  10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, maupun dalam UU No 33 Tahun 2014 beserta aturan pelaksananya yaitu PP Nomor 31 Tahun  2019. “Secara komprehensif yang mengatur pariwisata halal justru ditemukan dalam Fatwa DSN–MUI, namun tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat,” jelasnya.

Padahal, lanjut Dr Cucu, pembentukan hukum pariwisata halal merupakan cita–cita masyarakat muslim di Indonesia, sebagai konsekuensi dari keimananya. Ketika mengucapkan kalimat syahadat, maka setiap kegiatan yang dilakukan harus sesuai dengan perintah Allah SWT, termasuk dalam kegiatan pariwisata. “Fatwa DSN–MUI Nomor 108/DSN-MUI/X/2016 itu sendiri lahir atas desakan masyarakat muslim, khususnya para pegiat pariwisata halal,” jelasnya.

Sedangkan solusi atas kekosongan hukum pariwisata halal, pemerintah perlu mengamandemen Undang–undang tentang Kepariwisataan yang sudah ada, yaitu UU No 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, dengan memasukkan pasal–pasal terkait pariwisata halal. Amandemen ini tidak mudah karena harus mendapat persetujuan Pemerintah dan DPR. Solusi lain, misalnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang–Undang pun, juga tidak mudah, karena menurut ilmu perundang–undangan, Perppu dapat dikeluarkan karena alasan darurat.

“Langkah paling cepat dan tepat adalah melakukan pembentukan hukum pariwisata halal. Fatwa DSN–MUI tentang Pariwisata Halal dinaikkan statusnya sekurang–kurangnya menjadi Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, sehingga hukum Islam memberikan kontribusi terhadap pembaharuan hukum nasional di Indonesia,” desaknya.

Ditanya, apa yang dimaksud pariwisata halal? Ia menegaskan bahwa pariwisata halal adalah sebuah layanan wisata yang prima dan bersahabat terhadap wisatawan muslim. Pariwisata halal tidak bertentangan apalagi menghilangkan kearifan lokal, malah diyakini bakal mampu peningkatan taraf perekonomian masyarakat.[nanang sungkawa]

Related Posts