Gerakan politik Islam di Indonesia senantiasa menarik untuk dianalisis baik oleh ilmuwan politik dalam negeri maupun Asing. Intelektual politik Indonesia antara lain Nazaruddin Sjamsuddin, Syafi’i Maarif, Deliar Noor.
Sedangkan peneliti politik asing yang tertarik dengan gerakan politik Islam di Indonesia antara lain Herbert Feith, Geertz, J. Benda, Karl Jacson, William Liddle, dan Hiroko Horikosi. Ketertarikan ilmuwan politik tersebut senantiasa berawal dari beberapa asumsi antara lain: pertama, Islam politik Indonesia berbeda pola gerakannya dengan Islam di berbagai Negara Islam.
Islam politik Indonesia lebih menerima demokrasi tetapi kental dengan budaya lokal. Kedua, Islam sebagai agama yang dianut mayoritas masyarakat, sehingga memiliki power politik yang cukup besar. Dan Ketiga, Islam politik memiliki serentetan sejarah perjuangan dan perlawanan.
Secara makro eksistensi Islam politik dalam pembangunan politik bangsa tidak dapat dikesampingkan sebagaimana dikatakan peneliti senior LIPI, Taufik Abdullah bahwa peranan Islam dalam sejarah masyarakatmasyarakat di Indonesia sejak abad ke-15 sangat besar di kutip oleh Asli188. Islam merupakan kekuatan historis yang cukup besar dalam dinamika sejarah (Abdullah, T., 1974: 56).
Peneliti dan sejarawan lain, Onghokham, menambahkan, “sejak penyebaran agama Islam di Indonesia, agama memainkan peranan penting. Bahkan pada abad ke-20, Islam tetap tampil sebagai ideologi walaupun sudah bercampur dengan ideologi-ideologi lain seperti nasionalisme sekuler, komunisme dan sosialisme.
Apabila dianalisis mengenai proses awal masuk dan berkembangnya di masyarakat, Islam di Indonesia lebih bernuansakan Islam Fiqih atau Tasawuf (Bruinessen, M.V., 1995; Azra, A., 1999). Masyarakat lebih banyak membicarakan dan mempertentangkan masalah Fiqih ketimbang politik sehingga organisasi-organisasi Islam pada awalnya lebih mengedepankan pemurnian agama atau puritanisme seperti yang dilakukan Muhammadiyah, Persis, NU dan kelompok tarekat atau tasawuf.
Puritanisme inilah yang menjadi ciri khas satu organisasi Islam. Aliran Tasawuf kebanyakan dibawa oleh para wali terutama wali songo sekitar abad ke-15 dan Fiqih banyak dibawa oleh kaum pembaharu yang lebih mengemuka sekitar awal abad ke-20.
Oleh karena itu, umat Islam Indonesia lebih mudah menerima demokrasi, karena demokrasi tidak berkaitan dan tidak bertentangan dengan aturan-aturan Fiqih dan tasawuf. Fenomena tersebut berbeda dengan kondisi Negara-negara Islam terutama di Timur Tengah. Negaranegara tersebut agak sulit menerima demokrasi. Penyebabnya adalah, pertama, demokrasi adalah faham Barat, dimana negara-negara Barat dianggap sebagai biang keladi kehancuran Khilafah Islamiyah di Turki sekitar tahun 1923, sehingga sampai sekarang masih banyak gerakan politik.
Hasil penelitian tentang Politik Islam dan Demokrasi di Indonesia oleh Fauzan Ali Rasyid yang dimuat pada Jurnal Pendidikan Sejarah, IX, 2 (Desember 2008) 75-86